Dalam hidup akan ada perbedaan? Itu wajar...
Sama seperti aku yang berbeda denganmu menilai seseorang dengan penilaian berbeda.
Aku menyukai acara kartun Doraemon di televisi, karena menurutku dia lucu,aneh dan menkajubkan.
Tetapi, bisa saja kamu tidak menyukai Doraemon sepertiku. Karena mungkin bagimu, Doraemon itu kekanak-kanakan dan ceritanya tidak masuk akal.
It's no problem...karena sejatinya "Perbedaan" itu indah jika kita mau mengindahkannya.
Tapi, kalau masing-masing egois dan ingin menang sendiri. Yahhh...apa yang mau dikatakan?
Sama dengan kejadian hari ini, bahkan bisa dibilang kejadian hampir tiap tahun.
Setiap tahun kita menanti satu bulan yang ditunggu-tunggu umat dari dua belas bulan yang ada. Katanya, bulan itu penuh berkah...penuh rahmatan lil alamin :-)
Indahnya berbagi,menghargai,kebersamaan akan banyak ditemukan dibulan ini. Sebut saja namanya, "Ramadhan"... Ia adalah bulan yang paling agung yang dinanti umat. Kehadirannya begitu ditunggu-tunggu.
Sampai-sampai kami suka berselisih pendapat dalam menentukan kapan kehadiranmu, Ramadhan. Yah...itulah bentuk betapa cintanya kami kepadamu. Sama halnya ketika kami menentukan kapan temanmu datang "Syawal", kami juga sering berselisih pendapat. But, i think make "A different be a good things" adalah jalan terbaik dan gak perlu dipermasalahkan,bukan? Intinya, ikuti saja keyakinan masing-masing.
Lanjut,baca artikel dibawah ini ya...
Happy read it :-)
Antara Hisab dan Rukyah
Dibaca: 1181
Penulis : M. Arifin Ismail, Ketua Umum PCIM Malaysia
“ Barangsiapa diantara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadhan maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu “ ( QS. Al Baqarah : 285 ).
Perbedaan metrode untuk menentukan awal bulan, baik itu awal ramadhan
maupun awal syawal terjadi disebabkan perbedaan ijtihad dalam metode
antara kaedah apakah awal bulan tersebut dilakukan dengan adanya “
wujudul hilal” ( adanya anak bulan-walaupun belum nampak dilihat tetapi
ada dalam perhitungan ilmu falak ) atau metode “imkanurrukyah “ (
kemungkinan nampaknya anak bulan- sehingga untuk nampaknya anak bulan
diperlukan ketinggian dua derajat ). Perbedaan metode ini terjadi
disebabkan perbedaan ijtihad dalam memahami nash dalil tentang melihat
anak bulan, daripada nash alQuran dan hadis. Dalam al Quran disebutkan :
“ Siapa diantara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadhan maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu “ ( QS. Al Baqarah : 285 ).
Rasulullah juga bersabda : “ Hendaklah kamu berpuasa karena melihat
anak bulan, dan berbukalah kamu karena melihat anak bulan, dan jika
langit mendung maka cukupkanlah tiga puluh hari “ ( riwayat
Muslim.). Dalam hadis lain, riwayat Bukhari dan Muslim dinyatakan : “
Satu bulan itu mempunyai 29 malam, oleh itu jangan kamu mulakan puasa
sehingga kamu melihat anak bulan. Jika cuaca pada malam itu mendung dan
kamu tidak dapat melihat anak bulan, maka sempurnakanlah 30 hari bagi
perhitungan untuk bulan sya’ban “.
Perbedaan terjadi akibat perbedaan dalam memahami kalimat “ melihat
anak bulan “ dalam nash diatas, apakah melihat itu berarti melihat
dengan mata kepala atau dengan teropong sehingga mensyaratkan ketinggian
tertentu untuk dapat dilihat, ataukah kalimat “melihat “ itu juga
diartikan sudah adanya anak bulan dengan perhitungan astronomi walaupun
belum dapat dilihat oleh pandangan mata ?. Perbedaan pemahaman inilah
yang mengakibatkan perbedaan metode dalam menentukan anak bulan .
Metode pertama melihat anak bulan dalam arti “ anak bulan dapat dilihat
“. Melihat anak bulan diperlukan ketinggian derajat tertentu sehingga
jika anak bulan tidak terlihat , seperti jika ada awan, atau belum
sampai ke derjat yang terlihat, maka dianggap anak bulan belum nampak.
Untuk itu maka perhitungan bulan hijriyah sebelumnya digenapkan menjadi
tiga puluh hari. Metode kedua menyatakan bahwa “melihat anak bulan “
dalam arti “ sudah adanya bulan ( wujudul hilal ) “, sehingga jika bulan
sudah ada, maka jatuhlah awal bulan, walaupun anak bulan tidak
terlihat disebabkan kurangnya ketinggian untuk sampai terlihat, tetapi
dengan perhitungan ilmu astronomi, anak bulan sudah ada maka awal bulan
dapat ditentukan dengan adanya anak bulan tersebut. Kelompok kedua ini
berijtihad bahwa kalimat “ anak bulan dapat dilihat :, maksudnya adalah
anak bulan sudah ada menurut perhitungan astronomi, walaupun tidak
terlihat sebab terlihatnya bulan memerlukan syarat ketinggian tertentu.
Perbedaan juga terjadi dengan perbedaan Matla ( tempat keluar anak
bulan ). Bagi sebagian ulama, muncul anak bulan di suatu tempat di muka
bumi ini, misalnya di Saudi Arabia, di Afrika, sudah dapat dijadikan
patokan adanya bulan, walaupun di negeri lain tidak terlihat. Mazhab
Hanafi menyatakan bahwa penduduk di negeri timur wajib berpuasa jika
mendapat kepastian bahwa anak bulan kelihatan di negeri bahagian barat.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa apabila anak bulan kelihatan, puasa
hendaklah ditunaikan di seluruh negeri baik itu negeri yang dekat atau
jauh. Mazhab Hanbali menyatakan bahwa apabila telah tetaplah kelihatan
anak bulan di satu tempat sama ada dekat atau jauh, maka semua orang
wajib berpuasa dan bagi orang yang tidak melihatnya juga wajib berpuasa
sebagaiman diwajibkan bagi orang yang telah melihat anak bulan tersebut.
Sedangkan bagi sebagian ulama lain seperti mazhab Syafii, menyatakan
bahwa perbedaan Matla’ diambil kira, sebab nampak di suatu tempat, untuk
hukum di tempat terbeut, dan tidak dapat berlaku bagi tempat yang belum
nampak anak bulan. Pendapat ini berdasarkan bahwa waktu shalat juga
berbeda dengan adanya matla’, sebab itu perbedaan menentukan awal bulan
juga dibenarkan. Ulama Syafii mengatakan dibolehkan nya perbedaan
tersebut berdasarkan hadis daripada sahabat Kuraib, menyatakan bahwa
Ummu Fadl menghantarkannya menemui Muawiyah di negeri Syam ” Aku tiba di
Syam dan menunaikan hajatnya sedangkan pemberitahuan anak bulan
berkumandang di udara. Aku melihat anak bulan pada malam Jumat kemudian
aku balik ke Madinah pada akhir bulan. Pada waktu itu aku ditanya oleh
Ibnu Abbas tentang anak bulan. Kata Ibnu Abbas, ” Bilakah kamu melihat
anak bulan ? ” Aku menjawab : ” Kami melihatnya pada malam Jumat ”. Ibnu
Abbas bertanya lagi : ” Adakah engkau sendiri melihat anak bulan ? ”.
Aku menjawab : ” Ya, dan orang lainpun melihatnya, mereka berpuasa dan
Muawiyah juga berpuasa ”. Ibnu Abbas berkata : ” Kami disini melihat
anak bulan pada malam Sabtu, oleh karena itu kami terus berpuasa hingga
kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat anak bulan syawal ”.
Aku bertanya lagi : ” Tidakkah memadai bagi kalian dengan terlihatnya
anak bulan itu dan puasanya khalifah Muawiyah ”. Ibnu Abbas menjawab : ”
Tidak, beginilah caranya Rasulullah saw menyuruh kami ”. ( Wahbah
Zuhaili, Fiqul Islam wa adillatuhu, jilid 2 ). Menurut hadis diatas,
penduduk Syam dan khalifah Muawiyah menentukan awal bulan pada malam
jum’at, dan mulai berpuasa pada hari jum’at, sedangkan penduduk madinah
tidak melihat bulan sehingga mereka menyempurnakan bilangan bulan, dan
mulai berpuasa pada harin sabtu, walaupun pada waktu itu madinah masih
dibawah pemerintahan Muawiyah, yang beribukota di negeri Syam. Oleh
sebab itu, hadis ini menjadi dalil bahwa terlihatnya bulan d suatu
negeri tidak dapat menjadi hukum bagi negeri yang lain, dan dalil bagi
dibolehkannya berbeda dalam melihat anak bulan antara satu negeri dengan
negeri yang lain. Kedua-duanya adalah sah dan tidak ada yang salah,
sebab kedua-duanya melihat bulan dalam tempatnya masing-masing. Dalam
Fiqih Islam, perbedaan tersebut tidak menjadi masalah, apakah itu
perbedaan metodologi, ataupun perbedaan matla’, sebab kedua metodologi
tersebut tetap mengacu kepada dalil yang sah berdasarkan nash yang kuat.
Perbedaan tersebut sudah terjadi sejak pada zaman sahabat sampai
sekarang, demikian juga akan tetap terjadi perbedaan dimasa mendatang.
Perkara yang utama, adalah sikap menghargai perbedaan masing-masing,
sebab perbedaan metode ataupun perbedaan dalam matla’ tidak boleh
menjadi sebab pertengkaran dan perpecahan. Sebagaimana telah dilakukan
oleh sahabat terdahulu, perbedaan menentukan awal ramadhan bagi
masyarakat Madinah, tidak menjadi persoalan yang dibesarkan oleh
khalifah Muawiyah dan masyarakat Syam, sebab mereka memahami bahwa
perbedaan itu terjadi juga berdasarkan nash dari hadis nabi. Itulah
sebabnya Ibnu Abbas berkata bahwa mereka melakukan puasa hari sabtu,
sebab mereka tidak nampak bulan pada malam jumat, sedangkan bagi
masyarakat Syam bulan sudah nampak pada malam jumat, sehingga mereka
berpuasa pada hari jum’at. Masyarakat Syam tidak menyalahkan masyarakat
madinah sebab mereka berpuasa di hari sabtu, sebab mereka memahami bulan
tidak terlihat bagi masyarakat Madinah pada malam Jumat sehingga mereka
menggenapkan bilangan sampai tiga puluh hari dan baru memulai puasa
pada hari sabtu. Sikap yang diambil oleh masyarakat Madinah juga
berdasarkan hadis ” jika cuaca mendung dan anak bulan tidak terlihat
maka sempurnakanlah tiga puluh hari ”. Demikian juga masyarakat Madinah
memahami sebab perbedaan masyarakat Syam karena mereka telah melihat
bulan sesuai dengan hadis nabi ” berpuasalah kamu jika kamu melihat anak
bulan ”. Kedua masyarakat tersebut perbeda dalam menentukan awal puasa,
dan keduanya sama-sama berdasarkan nash hadis Rasulullah, sehingga Ibnu
Abbas berkata : ” Demikianlah cara Rasulullah menyuruh kami ”. Artinya
kami berpuasa pada hari Sabtu tersebut sesuai dengan perintah Nabi, dan
bagi masyarakat Syam mereka berpuasa pada hari jumat juga sesuai dngan
perintah nabi. Sikap menghargai perbedaan tersebut merupakan sikap yang
diperlukan pada hari ini. Masyarakat yang menentukan awal ramadhan
dengan ” wujudul hilal ” yang biasanya dipakai oleh kelompok tertentu
seperti ormas Muhamadiyah harus menghormati mereka yang menentukan awal
ramadhan dengan metode ” imkanurukyah ” yang dipakai oleh kelompok lain.
Demikian juga kelompok yang memakai ”imkanuukyah ” walaupun didukung
oleh keputusan pemerintah dan mayoritas ormas Islam seperti Nahdatul
Ulama, AlWashliyah, dan ormas lain juga harus menghormati kelompok yang
memakai metode ”wujudul hilal ”. Demikian juga kelompok yang mengikut
awal ramadhan sesuai yang ditentukan oleh negara Arab karena memakai
Matla yang satu sebagaimana dipakai oleh mazhab Hanafi, Maliki dan
Hanbali juga harus menghormati mazhab Syafii yang akan menentukan awal
ramadhan sesuai dengan perbedaan matla’. Demikian juga pengikut mazhab
syafii hatus menghormati pengikut mazhab lain yang akan berpuasa
mengikut dengan ketentuan puasa negeri yang lain. Sikap saling
menghormati perbedaan dan pendapat inilah yang merupakan kunci persatuan
umat. Marilah kita masuki bulan ramadhan dengan semangat ukhuwah dan
persatuan bukan dengan mencari-cari kesalahan dan perbedaan. Fa’tabiru
Ya Ulul albab.
Tags: PCIM , Cabang , Istimewa , KualaLumpur , Malaysia , Buletin , ramadhan , syawal , hisab , rukyah , rukyat , hilal , bulan
Tulisan diatas tidak dikurang-kurangi ataupun dilebih-lebihkan oleh saya. Masih asli ya,hehe...
Bisa juga kunjungi disini.
Apa yang dapat anda petik dari artikel diatas???
Banyak manfaat yang disajikan kan?
Intinya : Kita harus menghargai perbedaan bukan menjadikannya perselisihan :-)
Pelajaran berharganya : "Bekali ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan religi dengan belajar kepada orang-orang yang memang pantas ditunjuk sebagai guru. Saya pribadi saja menyadari, kalau ilmu religi saya masih kurang dan bisa dibilang dibawah. So, kita bisa bijak menentukan sikap. Bukan seperti selama ini, yang hanya bisa menjadi pengikut saja dan selalu menyalahkan".
Marhaban ya Ramadhan....
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1433 H.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas khilaf dan dosa :-)
Make a different be a good things... :-)
Comments
Post a Comment