22 Desember lalu...
Saya masih merasakan hangatnya kehadiran seorang Ibu
Masih saya nikmati perayaan Hari Ibu dari balik telepon genggam
Masih saya sadari jika saya adalah anak yang masih hobi bermanja-manjaan dengan sang Ibu
22 Desember lalu...
Saya tidak menyangka jika pesan yang saya kirim kala itu
Adalah pesan terakhir di Hari Ibu yang akan saya ucapkan untuk sang Ibu
22 Desember lalu...
Ya, itu 22 Desember lalu :-)
22 Desember hari ini...
Saya hanya ingin mengucapkan "Selamat Hari Ibu untuk seluruh wanita-wanita (Ibu-Ibu) di Dunia, Terimakasih untuk segala sesuatunya, semoga Allah swt senantiasa memberi kebahagiaan dan kemudahan untuk anda semua" :-)
Saya masih merasakan hangatnya kehadiran seorang Ibu
Masih saya nikmati perayaan Hari Ibu dari balik telepon genggam
Masih saya sadari jika saya adalah anak yang masih hobi bermanja-manjaan dengan sang Ibu
22 Desember lalu...
Saya tidak menyangka jika pesan yang saya kirim kala itu
Adalah pesan terakhir di Hari Ibu yang akan saya ucapkan untuk sang Ibu
22 Desember lalu...
Ya, itu 22 Desember lalu :-)
22 Desember hari ini...
Saya hanya ingin mengucapkan "Selamat Hari Ibu untuk seluruh wanita-wanita (Ibu-Ibu) di Dunia, Terimakasih untuk segala sesuatunya, semoga Allah swt senantiasa memberi kebahagiaan dan kemudahan untuk anda semua" :-)
***
Berhubung hari ini adalah 'Hari Ibu', saya jadi ingat cerita beberapa bulan lalu. Sebenarnya bukan cerita ya, lebih tepatnya sebuah pengalaman yang saya jadikan sebuah cerita. Saya tidak tahu ingin membuat judul apa, makanya saya gabungin saja dengan judul tulisan pagi ini.
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya tanggal 06 Maret 2014 saya kembali ke Medan dikarenakan Ibu saya sakit dan dirawat di ruang ICU saat itu. Sebagai anak, jelas sudah saya sedih sekali bahkan saya terkadang berpikir, 'mengapa hidup saya begitu sulit?', 'mengapa harus seperti ini dan itu?'
Tapi, ya sudahlah...ini sudah jalan cerita yang sudah digariskan oleh Allah swt untuk saya. Bagaimanapun juga, hidup terus berjalan :-)
Sepanjang perjalanan, saya hanya bisa berdo'a dalam hati sambil menahan air mata saya yang sebenarnya ingin tumpah ruah. Tetapi saya bantu dengan menggunakan headset dan membunyikan lagu-lagu yang saya senangi sepanjang perjalanan dari Purwakarta menuju Bandara (Jakarta) siang itu. Akhirnya saya sampai disana...
Setelah check in ini - itu dan hal-hal lainnya, saya duduk di ruang tunggu menuju pesawat. Saya sempat sebal saat itu, karena hal yang tidak saya inginkan terjadi.
Yah seperti biasa, pesawat yang akan saya naiki hari itu lagi-lagi harus delay dan kami berangkat pkl 19:00 wib (Tarik nafas dalam-dalam).
Akhirnya saya memutuskan duduk di sebuah bangku yang kosong pada saat itu masih dengan menggunakan headset saya, hanya untuk menyimpan rasa sedih yang juga bercampur kesal saat itu. Ibu sakit, pesawat delay. Arghhhh, semua pikiran bercabang.
Hingga datang seorang wanita separuh baya menghampiri saya dan duduk di sebelah bangku kosong di samping saya. Prediksi saya, Ibu itu berumur 60 - 65 tahun, jika melihat postur tubuh dan kerutan di pipinya. Tidak lama kemudian, sang Ibu memulai obrolan.
Ibu : 'Delay, ya nak?'
Saya : 'Iya Bu, tadi saya tanya petugas sih sekita jam 19:00 wib baru berangkat. Ibu mau
kemana? Lanjut saya'
Ibu : 'Saya mau ke Medan'.
Tidak lama petugas bandara mengumumkan bahwa penumpang sudah bisa menaiki pesawat melalui pintu yang diarahkan sang petugas. Melihat sang Ibu kesulitan bangkit dari kursinya, saya coba membantunya berdiri. Sepanjang jalan menuju pesawat, kami pun melanjutkan cerita.
Saya : 'Medan dimananya Bu?'
Ibu : 'Saya mau ke tebing tinggi nak, ada acara pesta anak adik saya disana. Mau ke Medan
juga nak? Darimana tadi?'
Saya : 'Iya bu, mau pulang ke rumah orang tua. Saya dari Purwakarta, kebetulan bekerja
disana. Ibu kenapa sendiri? Tadi diantar ke Bandara?' (Tanya saya penasaran)
Ibu : 'Iya diantar sama cucu tadi tapi sampai di depan saja, karena tidak boleh masuk. Yah,
namanya anak sudah besar-besar nak, pada bekerja lagi. Sudah sibuk dengan
kerjaannya, mana kerjaannya jauh-jauh juga. Saya tidak datang ke acara tidak
mungkin, keponakan sendiri yang nikah.' (Tutup sang Ibu)
Kami pun memasuki ruang menuju pesawat, kemudian si ibu berkata kembali.
Ibu : 'Nak, nanti tolong carikan kursi saya ya. Saya tidak mengerti'.
Lalu saya membantu sang Ibu mencarikan kursinya sambil meminta tiket pesawat sang Ibu untuk melihat duduk dimana beliau. Setelah sang Ibu memberi tiketnya, saya meminta bantuan pramugari di depan untuk mencarikan kursi Ibu tersebut dan saya pun duduk di kursi saya.
Kami pun sampai di Medan, walaupun kursi kami lumayan jauh jaraknya. Ternyata Ibu tersebut menunggui saya. Saya mencoba memegang tangannya malam itu sambil menuntunnya berjalan keluar dari pesawat. Ya Allah swt, saya pun berandai-andai. Seandaninya tangan yang saya tuntun ini adalah tangan Ibu saya, tapi?????????????? ~___~
Ibu : 'Dijemput nak?'
Saya : 'Iya, bu'.
Ibu : 'Pulang dalam rangka liburan atau gimana?'
Saya : Lalu saya mulai bercerita kepada Ibu tersebut, 'Bukan Bu, Mama saya sakit. Saat ini
beliau sedang dirawat di Rumah Sakit. Menurut dokter, mama saya terkena gagal
ginjal. Bla...bla...bla... (saya melanjutkan curhat saya malam itu'.
Ibu : 'Sabar ya nak. Ibu do'akan mama kamu cepat sembuh ya. Ibu do'akan lah pokoknya.
Panjang umur Mamamu, kamu yang kuat nak'.
Saya : 'Terima kasih ya Buk. Ibu dijemput?'
Ibu : 'Iya, sama keponakan saya'.
Mendengar kata-kata sang Ibu ada rasa semangat kembali malam itu. Saya tidak boleh menangis, saya tidak boleh bersedih dan saya harus kuat untuk menghibur Ibu saya yang sedang berbaring lemah di Rumah Sakit.
Tetapi takdir berkata lain, Ibu saya harus kembali di usia yang masih muda (48 tahun).
Saya berpikir positif saja, 'Allah swt lebih sayang sama Ibu, makanya Ibu saya berpulang cepat'.
Arghhhhhh Tuhan, rasanya jika boleh minta malam itu.
Kenapa tidak Ibu saya saja yang saya genggam tangannya malam itu dan duduk sambil berbincang hangat di Bandara? Justrul saya harus menolong Ibu orang lain yang mungkin terabaikan oleh kesibukan anak-anaknya, karena berumur sudah separuh baya, jalan saja sudah nungap-nungap tetapi dibiarkan pergi sendiri (tanpa teman) dan menerima kenyataan Ibu saya berbaring tidak berdaya dengan segala alat dokter di ruangan yang menyeramkan. ~Seandainya :-((
Comments
Post a Comment